Senin, 19 Maret 2012 0 komentar

Oyasuminasai

Untuk kau yang berada disana. Hey, apa kabar? Pasti kamu akan menjawabnya dengan kalimat, “Baik kok”. Benar kan? Karena aku selalu mendoakan kesehatanmu di sini. Hari ini aku mengerjakan tugas dengan teman-temanku. Mereka datang dari habis dzuhur kemudian mereka pulang saat tengah malam. Pasti kau bertanya, “Ngapain aja, sih sampai tengah malem gitu baru selesai?”, tenang, kami tidak melakukan hal gila dan liar, hanya mengobrol biasa dengan ledakan tawa yang sangat keras, lalu kami makan, ngemil, kemudian makan lagi, hingga kami menonton sebuah anime sampai pergi ke supermarket hanya untuk membeli beberapa cemilan dan kebutuhan bulanan. Lihat, biasa saja kan. Tugasnya tidak banyak kok, hanya membuat suatu percakapan dan fatalnya kami sama sekali tidak mendapatkan pencerahan sehingga kami berasumsi untuk merefresh pikiran kami dengan melakukan hal yang menyenangkan, namun jadi keterusan. Oh, tenang saja, sudah selesai kok tugasnya, yah, tinggal satu sekarang, yaitu tugas Bunpou. Sayang, saat kuliah Bunpou minggu lalu, buku ku di pinjam oleh kakak tingkat dan aku mencoret-coret catatan di buku temanku dan aku lupa menyalinnya kembali ke dalam buku ku sendiri. Bodoh, ada beberapa cara baca kanji disana, namun apa boleh buat, menghubungi orang untuk menanyakan masalah kanji jam segini sepertinya akan menjadi mimpi buruk baginya. Dan aku lebih memilih menulis ini terlebih dahulu untuk mengisi waktu. Hm, bukan itu saja alasannya, aku hanya kangen denganmu.
Kangen? Ya, dan aku yakin kamu juga merasakan apa yang kurasakan. Waktu sudah menunjukan pukul 00:28 pagi. Mataku sudah sayu karena mengantuk, namun jari ini tidak ingin berhenti rasanya untuk menulis sesuatu. Ingin sekali aku membua satu artikel yang isinya hanya kata ‘kangen’, namun aku berpikir ulang, itu seperti remaja ababil yang baru saja berpacaran dan merasa jauh dipisahkan padahal jarak rumah mereka itu satu gang dari rumahnya. Aku, bukan, kita sudah dewasa. Sudah bukan main-main lagi dalam berhubungan. Kita bukan anak SMA yang baru saja merasa dia itu sudah dewasa namun nyatanya belum. Kita memiliki impian, benarkan? Aku yakin kamu pasti menjawabnya dengan senyuman. Aku menyukai senyummu itu, namun aku lebih menyukai saat dimana kamu menggandeng tanganku.
Hoooaam, kepalaku sekarang sudah bersender di dinding. Punggungku sakit, tapi tetap saja jari ini tidak mau meninggalkan laptop. Sekarang, aku sedang membuka keran, menampung air karena nanti pagi aku akan piket dan sangat menyebalkan jika air tidak ada. Tapi, semoga saja aku bisa terbangun nanti pagi mengingat sekarang aku sedang *piiiipp*. Hehehe..
Hei, kamu yang disana sedang apa? Memikirkan aku kah? Atau kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu? Ahh, sekarang bagian leherku yang sudah lelah menatap layar monitor, aku harap jari-jari ku ini cepat mengeluarkan apa yang ingin ditulisnya.
Saat beres-beres tadi, aku menemukan rubik yang kudapatkan dari temanku. Aku memperbaikinya segera dan tidak sampai tiga menit aku sudah menyamakan semua warna di setiap sisinya. Yah, tiga menit dalam menyelesaikan rubik itu sungguh lama, apa boleh buat aku mengerjakannya sambil menemani temanku menonton film. Sepertinya jari-jariku sudah lelah dan ingin segera beristirahat. Mata, pinggan, leher dan badan juga menyetujuinya. Aku hanya ingin mengatakan, aku sayang kamu. Terima kasih sudah menyayangiku yang kadang ababil seperti ini. Oyasuminasai dan selamat bekerja.

-Atikah Firdaus-
0 komentar

Hujan dan Teru Teru Bouzu


Aku membuka jendela kamar kos ku yang berteralis. Hahhhh--aku menghela nafas melihat pemandangan di luar sana. Hujan. Padahal aku baru saja selesai mencuci semua pakaianku. Ku tengok boneka Teru Teru Bouzu yang tergantung di kanan jendela. Boneka itu sudah kusam, sudah lama ku gantung. Gambar mata dan mulutnya saja sudah hilang. Apakah karena itu Teru Teru Bouzu sudah tidak bisa menghalau datangnya hujan?
"Kenapa, neng?"
Aku menengokan kepalaku, "Hujan, teh," jawabku. "Padahal baru selesai nyuci," ujarku sedikit kesal.
Aku menghela nafas panjang dan menutup kembali jendela kamarku. Bandung utara itu dingin, apalagi di daerah kosan ku. Yah, dikarenakan letaknya harus ke bawah lagi dari pintu masuk, dinginnya sungguh sangat sesuatu. Baiklah itu berlebihan, tapi itu bener, kok. Kosan bawah tanah, ditambah hujan dan tubuh yang sedikit basah akibat berkutat dengan air cucian tadi, sungguh paduan yang sangat tidak menyenangkan. Dingin. Sangat dingin.
Aku bergidik dan memutuskan untuk berbaring di kasur. Aku menarik selimut hingga ke dagu. Lumayan, cukup hangat. Aku memandang kembali boneka Teru teru Bouzu yang menggantung itu. Aku masih ingat, boneka itu adalah salah satu properti stand milik kelas B yang aku minta saat mereka merapihkan stand-nya di acara Japan Festival di kampusku. Hampir satu tahun boneka itu menggantung diteralis jendela kamarku. Memang harus dicopot, soalnya penampilannya sudah tidak karuan dan malah lebih mirip boneka 'the jumping candy'.
Aku mengambil ponselku yang tergeletak tak jauh dari posisiku berbaring dan aku mulai menulis sebuah pesan singkat.

Hujan, padahal abis nyuci. Emang ame no onna nih (--")

Ku kirim ke teman-temanku dan juga ke dia. Satu menit, dua menit, sms balasan pun kuterima. Hahaha, jawabannya aneh semua. Ame no Onna, wanita hujan. Nama julukanku yang diberi oleh salah satu teman kuliahku. Lucu juga sih, soalnya memang selalu kejadian kalau aku baru selesai mencuci, pasti hujan.

Tik, tik, tik...

Hujan semakin deras. Sebagian air hujan yang terbang dibawa angin mengenai kaca jendelaku, menimbulkan sebuah suara bernada yang menenangkan. Biasanya kalau seperti ini aku langsung menyalakan laptop-ku dan langsung mendengarkan musik atau menonton film untuk membunuh waktu, tapi hari ini aku sedang malas berurusan dengan barang elektronik itu. Suara hujan hari ini cukup membuatku tenang dan juga, aku bisa mengingat suatu hal yang manis yang sukses buatku senyum-senyum sendiri jika mengingatnya.
Kejadian itu dimulai pada hari yang panas di bulan Agustus...

-Sabtu, Minggu ke-2 bulan Agustus-

"Bu, mau beli batre hape di Jakarta, lah. Masa, udah tiga hari nggak ada stock sama sekali, sih, di konternya!" ucapku. Hari itu cukup panas, sehingga aku berbicara dengan ibuku sambil guling-gulingan di lantai.
"Emang mau beli sama siapa?" sahut ibu sambil menidurkan adikku yang kecil.
"Nggak tahu, mau-nya sih pas nanti ke rumah bu'de, aku mampir dulu ke Roxy."
"Nggak usah, puasa-puasa gini ngapain siang-siang kesana!"
"Terus kapan lagi, bu? Sekalianlah, kan disuruh kesana juga sama bu'de."
"Nanti aja sama ayah nyarinya."
"Mending ayah mau," ucapku sedikit kecewa. "Eh, sama si abang aja kali ya, bu. Sekalian kan udah nggak pernah main kesini lagi.”
"Udah dihubungin belum?"
"Belum, hehehe..."
Aku pun langsung menuju kamar menghambil ponsel ku. Gawat, dicari berapa kali pun tidak akan ketemu karena nomornya sama sekali tidak ada di list contact ponsel ku. Tapi aku nggak pantang menyerah, aku langsung membuka opera mini dan log in ke akun facebook-ku. Ku cari nama akunnya lalu ku klik info miliknya. Alhamdulillah dia mencantumkan nomor ponselnya disana. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menyimpan nomor tersebut dan mengirim sebuah pesan singkat.

Bang, ke Roxy yuk, nemenin aku nyari batre hape.

Tidak sampe semenit aku pun menerima balasan.

Boleh. Ini siapa ya?

Atikah, bang. Masa lupa, sih?

Oh, si dede. Yaudah, kapan? Maaf hape abang ilang jadi nomor kontak juga pada ilang.

Baru saja aku mau membalas sms-nya, tapi ponsel ku berdering, dia menghubungiku duluan.
“Halo, assalamu’alaikum,” ucapku.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya. “Jadi mau kapan, de?”
“Besok aja gimana? Lagi sibuk kerja, nggak, bang?”
“Nggak, jadi abang ke rumah dede, gitu?”
“Nggak usah. Besok aku kan ada upacara di Ahmad Yani, paling selesainya sorean, abang jemput aku di sana aja, gimana?”
“Yaudah, tapi dede bawa helm ya, soalnya abang nggak punya helm dua.”
“Iya, deh. Nanti aku bawa helm. Makasih ya, bang.”
“Iya, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”

-Minggu, minggu ke-2 bulan Agustus-

          “Tin, gue duluan ya,” pamitku pada temanku. Upacara sore ini sudah selesai, sekarang di kantor cabang sedang persiapan untuk berbuka puasa. Mengingat aku punya janji, aku tidak bisa ikut buka puasa disini.
          “Mau kemana, lo, cun?” tanya temanku itu.
          “Ada janji gue ama si abang, udah nunggu dia.”
          “Yaudah, hati-hati ya.”
          “Sip. Dy, duluan ya, thanks ya udah jemput tadi. Ka, maaf nggak bisa ikut buka puasa disini, udah ada yang nunggu,” pamitku kepada yang lainnya.
          “Kah, mau ke Ahmad Yani, kan? Ikutlah gue,” sapa teman ku yang bernama Fajar.
          “Iya. Lo nggak ikut bukber disini, jar?”
          “Nggak, gue masih harus ngurus anak-anak SMP gue, kah.”
          “Hoooo, yah, jar! Balik ke Mougli dong, hape gue ketinggalan disana! Yang lagi di charge, ya!”
          “Yeee, dasar! Tunggu disini, ya!”
          “Iya.”

          Sementara Fajar pergi, aku bertemu dengan adik-adik kelasku saat SMA. Lumayan daripada bengong nggak jelas, lebih baik mengobrol dengan mereka. Nggak lama Fajar datang membawa ponselku beserta chargerannya. Dia mengeluh melihat batre ponsel ku yang sudah melendung nggak karuan. Lalu kami pun berpisah. Hampir maghrib dan aku belum bertemu dengan si abang.

Bang, nunggu dimana?

Di belakang gedung pemuda de, abang tunggu di situ ya, di gedung yang banyak orang jualan.

          Gedung pemuda? Ah, ini mah harus ngebolang. Tapi untungnya, pas pertengahan adzan maghrib aku ketemu dengan dia. Yah, lebih tepatnya dia sih yang menemukan aku.
          “Ini, lho, de, yang namanya gedung pemuda!”
          “Hoooo”
          “Jadi, mau kemana dulu? Ke sekre dulu aja ya, sholat maghrib disana.”
          “Yaudah. Bang, makin subur aja lo,” ujarku.
          “Oiya dong, kan di kasih makan, emangnya dede, nggak di kasih makan!”
          “Hahahaha, sial lo, bang!”
          Aku langsung naik ke motornya dan kami pun pegi ke sekre. Kebetulan disana juga ada buka puasa bareng. Setelah selesai sholat maghrib, aku yang sedang duduk di depan sekre mengobrol sebentar dengan dia. Dia menanyakan, apakah yakin jam segini mau ke Roxy. Yah, aku sih yakin aja, tapi karena takut kemalaman, akhirnya dia memutuskan untuk mencari di daerang Tangerang dulu. Dan sampailah kita di salah satu Mall terbesar di daerah Kabupaten Tangerang.
Malam itu di mall sungguh ramai. Dikarenakan sekarang bulan Ramadhan, banyak orang-orang yang memilih mall untuk tempat berbuka mereka. Bahkan, untuk mendapatkan tempat parkir saja sangat sulit sekali. Akhirnya, kami memarkirkan motor di tempat parkir di lantai 3. Dan tiba-tiba, dia memegang tanganku. Kaget sih, tapi nggak mau ge-er duluan, mungkin karena suasananya sedang ramai, takutnya aku ketinggalan di belakang dan itu malah jadi merepotkan dirinya. Tapi, sampai di dalam mall pun dia masih memegang tanganku. Sempat aneh juga, kenapa tiba-tiba dia seperti itu. Karena tidak mau menebak-nebak, aku membiarkan tanganku itu disandera olehnya.
Dan pencarian batrei pun dimulai. Ponsel ku itu buatan China, tetapi batrei-nya sungguh susah di cari. Akhirnya karena tidak ada yang sama, aku memutuskan menggantinya dengan batrei BlackBerry yang setipe dengan ponsel ku. Lalu masalah lain muncul, batrei BB itu mahal! Walaupun yang KW sekalipun tetap saja mahal, karena tidak pantang menyerah, kami terus mencari dari konter satu, ke konter lainnya. Sebenarnya yang mencari sih, dia, bukan aku. Malahan, dia itu lebih pintar menawar dibandingkan aku. Dan akhirnya aku membeli batrei yang harganya dibawah seratus ribu setelah dia menawar sana-sini. Arigatou. Hehehe..
“Sekarang mau kemana lagi? Kan udah ketemu tuh, batrenya. Pulang aja yuk, udah malem, nanti dicariin ayah lho,” ucapnya.
Benar saja, hari semakin malam, aku memutuskan untuk pulang dengan sebelumnya membeli pizza terlebih dahulu. Perasaan ku mulai tidak enak, karena angin malam itu lumayan dingin dan benar saja kami kehujanan. Awalnya hanya gerimis namun hujan semakin deras memaksa kami untuk berteduh. Kami berteduh di depan toko yang sudah tutup. Pakaianku sebagian sudah basah. Belum lagi tas ku yang kotor karena motor yang aku tumpangi itu tidak memiliki spakboard.
“Ini sampe rumah jam berapa, ya?” ucapku sambil merapatkan tubuh ke belakang untuk menghindari air hujan. Aku pun otomatis melindungi pizza yang di tangan kananku. Tiba-tiba dia melakukannya lagi. Tangan kiri ku di genggam olehnya.

DEG

Perasaan apa ini? Untung dia mengajakku mengobrol sehingga suasana tidak menjadi canggung dan aku juga bisa bersikap biasa saja, menutupi tingkah laku ku yang sempat salah tingkah.
“Kamu belum makan, kan? Makan, gih, sana. Mau mie ayam nggak?” ucapnya sambil menunjuk warung mie ayam yang buka di samping kanan tempatku berdiri.
“Nggak mau ah,” jawabku. “Nanti aja di rumah, soalnya udah kepengen pizza.”
“Hahahaha, dasar, si dede.”

Hujan mulai reda dan kami pun melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, aku segera mengganti pakaianku yang basah. Ayah pun mengobrol dengan abang dan menanyakan kenapa baru pulang jam segini. Benar saja, saat ku lihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Abang pun pamit setelah mengobrol dengan ibu dan aku segera pergi tidur karena lelah sekali. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, sikapnya. Kenapa dia terus memegang tanganku? Aku tidak mengerti sikapnya itu.

-Senin, minggu ke-3 bulan Agustus-

Entah kenapa semenjak pertemuan itu aku dan dia jadi sering sms-an. Semuanya dibahas, karena sudah hampir satu tahun aku kehilangan kontak dengannya. Dia pun menanyakan mantanku yang di sebelah rumah. Sedikit kesal juga sih, kenapa harus itu yang ditanyakan. Karena tidak terima, aku pun balik bertanya tentang cewek yang pernah dekat dengannya saat dia ngekos di daerah sekitar tempat kerjanya. Lalu obrolan pun semakin jauh dan dia tiba-tiba mengajak ku untuk buka puasa bersama. Aku sih setuju saja karena dia yang mentraktir.
Sekitar jam lima sore dia pun menjemputku dan tanpa banyak bicara kami langsung pergi. Sempat bingung mau makan dimana, akhirnya dia memutuskan untuk makan di daerah sekitar danau. Yah, jauh-jauh pergi, ujung-ujungnya nasi goreng juga yang dipesan.
Dan kami pun makan sambil mengobrol. Ditengah obrolan, tiba-tiba ponsel miliknya low dan mati. Aku pun menawarkan untuk memakai ponselku dulu, dan dia pun menyetujuinya. Aku pun memasang sim card-nya di ponselku dan ku nyalakan kembali ponselku.
“Bang, nggak dapet sinyal gening? Sim 1-nya nggak kebaca,” ujarku.
“Masa sih, de?”
Aku pun mengutak-atik ponsel ku tersebut, tetap nggak bisa. Karena aku belum pernah memakai dua sim sekaligus, jadi aku sedikit tidak mengerti bagaimana cara pengaturannya. Bosan, aku pun iseng membuka inbox. Sms milikknya masuk ke ponselku, berarti tidak ada yang rusak dengan ponselku. Berarti akunya saja yang bodoh. Aku pun membuka inbox miliknya. Kebanyakan sms dari nomorku yang berada di inbox, senang sih, tapi kesenangan itu seketika hilang oleh beberapa pesan dari seorang cewek yang nggak aku kenal. Aku pun membukanya. Percakapan mereka tampaknya akrab dan menyenangkan sekali.

DEG!

Sakit. Tapi kenapa? Dari situ aku tidak mau membaca sms dari cewek itu. Ak pun pura-pura tidak tahu dan menutupi raut wajahku yang sedikit kecewa dengan membalas obrolannya. Disela-sela obrolan, aku mengirim pesan singkat kepada temanku.

Tadi aku cek nomornya, ada sms dari cewek lain. Kayaknya akrab banget, jadi sakit sendiri.

Tak lama kemudian, aku pun mendapat balasan.

Coba tanya dulu ke si abang, siapa dia?

Nggak ah, emang apa hak aku nanya-nanya masalah pribadinya. Pacar juga bukan.

Kami pun segera pulang setelah menghabiskan makanan yang dipesan dan puas mengobrol. Sesampainya di rumah, dia menunggu orang tuaku untuk berpamitan. Untung di rumah ada adik-adikku yang tidak ikut sholat tarawih, jadi aku tidak berduaan dengannya saja di rumah. Obrolan kami pun semakin asyik, dan kadang-kadang dia memegang tanganku. Aku penasaran dengan sikapnya yang seperti ini. Kalau benar dia tertarik denganku, kenapa dia juga melakukan hal yang sama dengan orang lain. Err, maksudnya cara dia membalas sms-sms yang sering aku kirim sama dengan cara dia membalas sms dari cewek itu. Aku tahu ini tidak beralasan, mungkin dia memang seperti itu orangya. Baik kepada semua orang. Tapi, apakah dia melakukan hal yang sama seperti dia melakukan hal ini kepadaku, memegang tangannya ketika berbicara.
Seperti biasa, aku pun mengirim sms ke temanku itu seputar masalahku setelah dia pamit pulang. Dan dia pun menyarankan untuk menanyakan seperti apa perasaan dia kepadaku. Aku terdiam memandang sms balasan itu. Oh my god! Yang benar saja!! Kalau balasannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan, itu sungguh memalukan. Tapi, jika tidak ditanya, aku juga yang pusing sendiri menerka-nerka arti dari sikapnya itu. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menanyakannya.
Bismillahirahmanirahim…

Bang, mau nanya dong…

Nanya apa?

Abang suka, ya, sama aku?

Lama. Tidak ada balasan. Mampus gue!!!

Nggak usah dibilang juga kamu seharusnya udah ngerti dari semua sikap abang ke kamu. Abang orangnya tidak suka mengumbar kata saying, de.

Jadi, abang suka nggak sama aku??

Iya.

Aku tersenyum lebar. Rasanya mau teriak sekencang-kencangya, tapi itu tidak mungkin karena ada ibu dan adikku yang kecil tidur di sebelahku. Ya Allah, ini kenyataankan, bukan mimpi? Dan aku langsung mengabari temanku itu tentang kabar menyenangkan ini. Dia pun membalasnya sambil menyoraki ku usil. Dan malam itu sungguh luar biasa menyenangkan, walaupun ada kejadian tidak mengenakan ketika buka puasa tadi, aku tidak memikirkan itu karena pikiranku penuh dengannya.

-Rabu, minggu ke-3 bulan Agustus-

Hari ini ada reuni dengan teman-teman SD ku. Tempatnya di mall yang sama dengan tempat aku mencari batrei hape tempo hari. Sempat tadi siang aku beragumen dengannya. Aku ingin sekali berangkat bareng agar sehabis reunian aku bisa jalan-jalan sebentar dengannya, tapi temanku menyarankan kalau bisa jangan membawa pacar. Kalau bawa pacar seenggaknya pas acara reuni dia harus pisah. Huh, kalau seperti itu, lebih baik aku berangkat sendiri karena aku nggak mau dia sendirian saat aku reunian. Aku mempercepat acaraku. Setelah makan-makan aku pamit pulang duluan. Teman-temanku sempat berusaha menahanku, tapi aku beragumen aku harus cepat-cepat pulang karena besoknya aku sudah harus ke Bandung lagi karena ada urusan kampus yang belum diselesaikan. Aku tidak berbohong dengan menggunakan alasan seperti itu, namun niatku agak melenceng sedikit karena aku ingin bertemu dengannya.
Aku pun pisah dengan teman-temanku dan berjalan menuju arah parkiran motor. Mall pun ramai seperti biasa, dan untuk keluar saja aku harus mengantri. Setelah pemeriksaan STNK dan pembayaran karcis, aku segera melaju kencang motor yang ku kendarai. Yah, mau berusaha cepat seperti apa pun jalanan sangat ramai dan kecepatan motorku hanya 60 km/h.
Sesampainya di rumah, aku segera beberes. Motor ku masukan, aku pun merapihkan barang-barang yang aku bawa. Adikku yang di rumah sedang ada di rumah. Dia men-skip sholat terawihnya lagi. Aku tidak protes dengan kelakuannya, karena aku merasa bersyukur ada dia. Aku takut jika hanya berdua saja, banyak gosip-gosip yang nggak enak menyebar tentang aku dan keluargaku.
Lalu dia pun datang. Kami mengobrol dan akhirnya dia menyatakan perasaannya di depanku. Rasanya senang sekali. Mungkin, jika hari itu aku tidak menghubunginya, jika hari itu tidak hujan dan kami tidak berteduh, mungkin sekarang aku dan dia hanya sebatas teman dekat saja. Kami sudah kenal lama, namun tidak pernah terpikir sedikit pun untuk menjalin hubungan yang lebih sebelumnya. Dulu, aku berani mengatakan semua hal tentang diriku tanpa pikir panjang dan tanpa memikirkan malu, begitu pun dengan dia. Mungkin, karena sudah mengenal satu sama lain, sudah tahu keburukan dan kebaikan masing-masing, aku dan dia bisa menjalin hubungan seperti ini.

Aku mengambil ponsel yang tergeletak di samping kananku. Pukul tiga sore.
“Kangen,” gumamku. Dan aku pun menarik selimut hingga menutup kepalaku. Menghangatkan tubuh sepenuhnya karena udara semakin dingin dan terlelap tidur.

Teru Teru Bouzu

-Atikah Firdaus-

 
;